Pada gambar 2 dibawah ini mengilustrasikan adanya sebuah Halfway House (sanatorium/inkubasi) yang berfungsi sebagai tempat adaptasi antara mantan penderita jiwa dengan keluarga/masyarakat. Di halfway house ini dilakukan juga psiko-sosial edukasi.

 

Terapi sosial di halfway house (sanatorium/inkubasi) diberikan kepada mantan penderita jiwa dan keluarganya. Terapi sosial bagi mantan penderita jiwa diberikan sesuai dengan keterampilan yang dimilikinya sebagai bekal mereka kembali ke masyarakat seperti: terapi musik, terapi kerja (menjahit, montir,dll), terapi olahraga, terapi melukis. Sedangkan bagi keluarga diberikan sosial edukasi seperti family gathering, sharing, hingga membentuk suatu wadah. “Rehousing” dilakukan secara bertahap (step-time), dan tetap memperhatikan Activity Daily Living (ADL) mantan penderita gangguan jiwa baik ketika berada di halfway house (sanatorium/inkubasi) maupun di rumah. ADL merupakan alat ukur layak tidaknya “rehousing” bagi mantan penderita gangguan jiwa.

Gagasan pemodelan tersebut, sejalan dengan pengalaman seorang mantan penderita gangguan jiwa yang menulis dalam sebuah artikel bahwa diluar negeri telah dikembangkan sistem dimana penderita setelah selesai masa perawatan di RS Jiwa dapat tinggal di halfway houses yang sengaja dibangun untuk itu, sehingga dapat menolong penderita dari tekanan atau lecehan orang lain dalam melanjutkan hidupnya. Di Indonesia konsep tersebut belum dikembangkan.

Sementara di Inggris, model pemberdayaan penderita yang digunakan oleh para profesional adalah dengan menghargai mantan penderita sebagai seorang “experts in their own experience” (ahli dalam pengalamannya sendiri) (Roberts, 2000 dalam Subandi, 2010), sehingga mereka diberi kesempatan untuk terlibat dalam pelayanan kesehatan mental. Dalam gerakan pemberdayaan, konsumen ternyata tidak sendirian. Mereka juga didukung oleh anggota keluarga mereka. Ini mengingat bahwa dampak gangguan jiwa tidak hanya dialami oleh penderita saja, tetapi juga anggota keluarga mereka. Beban psikis dan sosial ekonomis keluarga sangat besar. Salah satu diantaranya adalah stigma terhadap keluarga. Oleh karena itu sejumlah anggota keluarga dari para penderita gangguan jiwa mendirikan The National Alliance on Mental Ilness (NAMI). Organisasi ini bertujuan untuk membantu diri mereka sendiri dan anggota keluarga mereka yang mengalami gangguan mental (https://www.nami.org/).