Kesemuanya itu menjadikan mantan penderita gangguan jiwa merasa terkucil secara sosial. Penelitian tentang penolakan sosial terhadap mantan penderita gangguan jiwa yang dilakukan oleh Turner mengungkapkan bahwa ”Experiences of social rejection increase feelings of self-deprecation, which act to weaken a sense of mastery and self control (Barham and Haywood 1991). In turn, this has the effect of reducing feelings of self-mastery and has long-term implications for a person’s ability to function fully in society (Wright et al. 2000)” (Turner, 1988:56).

 

GAGASAN “REHOUSING” MANTAN PENDERITA GANGGUAN JIWA

Konsep pembangunan adalah kegiatan untuk menghasilkan perubahan multi dimensi dalam kehidupan masyarakat, yang mencakup perubahan-perubahan dalam sikap, orientasi hidup, lembaga-lembaga masyarakat, percepatan pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan pengurangan kesenjangan sosial.

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa ‘Sehat adalah suatu keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi’. Selanjutnya pada Bab IX Pasal 144 dinyatakan bahwa:

  • Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa,
  • Upaya kesehatan jiwa terdiri atas preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif pasien gangguan jiwa dan masalah psikososial,
  • Upaya kesehatan jiwa menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Menurut Kementrian Kesehatan RI, ada empat (4) perubahan dasar pada kebijakan kesehatan jiwa: 1) sistem berbasis rumah sakit menjadi berbasis komunitas, 2) penderita gangguan jiwa dapat dirawat pada seluruh pelayanan kesehatan, 3) penderita gangguan jiwa dapat dirawat sebagai penderita rawat jalan (tidak harus dirawat di bangsal), 4) penderita gangguan jiwa didukung untuk mandiri.