Sementara Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial yang di tindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, menyebutkan bahwa Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial warga Negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Terkait dengan kebijakan-kebijakan tersebut maka dalam terapi penderita gangguan jiwa, bukan hanya psikiater yang diperlukan tetapi semua kalangan masyarakat juga harus ikut ambil bagian. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa diagnosa dan terapi dalam kesehatan jiwa, tidak semata kedokteran fisik, namun meliputi asas-asas dinamika psikologi individu sebagai medical aspect dan interaksi sosialnya sebagai social aspect.

Beranjak dari Teori Fungsionalisme dimana masyarakat digambarkan seperti sebuah organisme/tubuh yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berhubungan secara fungsional dan keterhubungan tersebut membentuk sistem social yang mana setiap bagian memiliki fungsi spesifik yang jelas, dicerminkan oleh kelembagaan-kelembagaan masyarakat.

Di samping Teori Fungsionalisme, pemodelan ini juga mengacu kepada pendekatan Teori Kompleksitas. Realitas masih tingginya penolakan dan ketidak pedulian terhadap mantan penderita gangguan jiwa oleh karena adanya disorder, non linear dan uncertainty dari penerapan kebijakan yang ada menuntut pemecahan masalah yang melibatkan banyak pengetahuan dan banyak pihak.

Untuk merumahkan dan memasyaratkan kembali para mantan penderita gangguan jiwa ke masyarakat dan melaksanakan fungsi sosialnya maka diperlukan sebuah model sosial atau program intervensi. Gambar 1 dibawah ini mengilustrasikan “rehousing” mantan penderita gangguan jiwa yang dilaksanakan saat ini, dimana mantan penderita gangguan jiwa yang telah dianggap tenang oleh pihak petugas kesehatan di rumah sakit langsung di kembalikan ke rumahnya tanpa melalui sebuah halfway house (sanatorium/inkubasi). Kondisi ini banyak menimbulkan masalah dalam keluarga, sikap keluarga ada yang menerima, tidak peduli bahkan menolak. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah ruang (space) yang berada antara rumah sakit dan rumah keluarga, atau sebuah halfway house (sanatorium/inkubasi).