Di Indonesia, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007, prevalensi penyakit mental menduduki urutan ke-3 terbesar yakni 11,6%. Diestimasi pula jumlah gangguan jiwa berat di Indonesia sebanyak 0,46% dari seluruh penduduk dewasa Indonesia. Jika penduduk Indonesia dewasa sebanyak 70% dari seluruh penduduk maka 0,46% nya mengalami gangguan jiwa berat atau sekitar 1,75 juta jiwa.

Adapun kondisi di Sulawesi Selatan, penyakit mental tercatat sebesar 13,7% (RISKESDAS, 2007). Data Rumah Sakit Khusus Daerah Dadi Provinsi Sulawesi Selatan (Laporan Rekam Medik RSKD Dadi, 2018) mencatat jumlah penderita jiwa yang dirawat inap per 31 Desember 2018 sebanyak 665 orang, dengan 520 tempat tidur. Jika dibandingkan dengan ketersediaan tempat tidur nampak bahwa terdapat penderita yang tidak memperoleh tempat tidur. Dari 665 penderita tersebut, separuhnya berasal dari Kota Makassar dan sisanya tersebar di 23 kabupaten/kota. Data lain yang diperoleh dari RSKD Dadi yakni hingga bulan Mei 2019 terdapat 20% (lebih dari target < 10%) mantan penderita gangguan jiwa yang ”herop” (baca: kembali) ke rumah sakit dalam rentang waktu < 1 bulan. Rata-rata keluhan keluarga penderita yang herop adalah karena saat dirumah gelisah dan bahkan mengamuk.

 

PERMASALAHAN

Konsekuensi kebijakan terhadap upaya kesehatan jiwa menghadapkan kita kepada sebuah realitas yang terjadi pada mantan penderita gangguan jiwa saat ini.  Realitas sosial yang terjadi di masyarakat adalah penolakan dan ketidak pedulian terhadap mantan penderita gangguan jiwa di Kota Makassar masih tinggi. Fenomena ini menggambarkan sebuah tanda kegagalan dalam sistem masyarakat, termasuk keluarga. Ritzer (2013:58) menyatakan bahwa ”Kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antar individual dan antar kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar”.