Bukan cuma itu, terkait tema yang dibawakan Dialog Advokasi ini, ia membeberkan memang ada situasi dimana kasus baru ditangani dengan baik ketika sudah viral terlebih dahulu, tetapi dia tidak boleh menjadi satu upaya saja, akan tetapi harus sepaket dengan mendorong perubahan kebijakan dan langkah progresif lain.

Baca juga : Laporkan Pelaku, Korban Pelecehan Seksual di Samping Kampus UIN Harap Polisi Bertindak Cepat

Demisioner Ketua HMJ Jurnalistik Periode 2017-2018 Muh. Ibrahim Rewa yang juga peserta dialog ini bertanya dalam sesi diskusi tentang alat bukti yang bisa menjerat para pelaku kekerasan seksual.

Pertanyaan tersebut kemudian dijawab oleh Rezky Pratiwi. Ia merespon, untuk alat bukti sendiri sebenarnya merupakan kewenangan aparat penegak hukum dalam segi pengumpulannya dan bukan dibebankan kepada korban.

“(Contoh alat bukti) satu, keterangan saksi yang tidak harus melihat langsung (peristiwa kejadian), karena karakteristik kekerasan seksual tidak di ruang privat. Keterangan saksi yang tau kalau pelaku dan korban berada di satu tempat atau waktu bisa menjadi petunjuk, (kemudian) gambaran psikolog, visum psikiater dan keterangan dokter kalau misalkan ada luka atau lebam atau misalnya dalam hal perkosaan, bukti elektronik seperti chat video atau foto, kemudian surat surat yang punya kaitan dengan kekerasan seksual itu. (Selanjutnya) misalkan korban hamil, tes DNA bisa dilakukan, untuk menunjukkan siapa pelakunya, dan (sebenarnya) alat bukti itu sangat kontekstual tergantung situasinya, jawab Rezky Pratiwi.

Baca juga : Nadiem Ancam Turunkan Akreditasi Kampus Yang Abaikan Permendikbud PPKS

Terakhir, dari perwakilan dari ULT PSGA UINAM, Faradhiba Bachtiar, mengatakan kampus peradaban ini memiliki pedoman pencegahan kekerasan seksual yang sudah termaktub dalam SK Rektor, bahkan sebelum Permendikbud tentang kekerasan seksual terbit dan ramai diperbincangkan.