Meski jauh dari sorot lampu kamera, fakta ini menunjukkan transformasi Unhas sedang bergerak. Inovasi terus bergulir. Disiapkan dengan sungguh-sungguh. Cara kerjanya lebih senyap. Dan hasil Pimnas ini merupakan panen dari buah yang sudah lama ditebar benihnya.

 

Saya coba menengok hasil riset eksakta mahasiswa Unhas peraih medali emas. Ada Misfalah Sari dengan karya “Optimalisasi Penghantaran Senyawa Cathecin dari Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis) sebagai Mucus-penetrating Nanoparticles Aerosol Inhalation untuk Meningkatkan Efektivitas Terapi Pneumonia.”

 

Musyfira Sahra dengan karya “Luminar Capsule Microneedle sebagai Inovasi Baru Penghantaran Selektif Sofosbuvir Menuju No Nama Ketua Perguruan Tinggi Judul Hati dalam Mengurangi Risiko Hepatocelluler Carcinoma pada Penderita Hepatitis C.”

 

Lalu ada Widitra Darwis dengan karya “Inovasi Dissolving Microneedle Patch dengan Memanfaatkan Antigen Spesifik Tuberkulosis ESAT6-CFP10 sebagai Strategi Baru Diagnostik Infeksi Laten Tuberkulosis.”

 

Karya riset mereka keren keren.Begitu juga dengan karya dan hasil penelitian peraih medali dan penghargaan dengan kategori lainnya. Tak hanya dua, tapi empat jempol.

 

Prestasi yang ditorehkan mahasiswa Unhas ini boleh jadi menjadi jawaban dari berbagai “masalah” dan stigma yang kerap dijadikan objek pemberitaan media secara berlebihan. “Unhas itu sebenarnya kaya,” ujar kawan alumni Unhas tadi. “Salah satunya kaya masalah,” selorohnya.

 

Dengan kekayaan masalah itu, justru disitulah peluang emas. Semakin banyak masalah, semakin subur lahan bagi mahasiswa melakukan riset. Harusnya. Saya membayangkan jika kampus-kampus penuh periset yang berlomba-lomba “menghabiskan” masalah. Akhirnya, perguruan tinggi menjadi pabrik solusi. ***(Rusman Madjulekka).