Disisi lain, masyarakat ini menggunakan bahasa Mori yang tergolong kedalam kelompok bahasa Bungku-Laki, dan dianggap masih serumpun dengan bahasa-bahasa Filipina Selatan.

Fenomena ini mendedikasikan adanya perkawinan campur antara populasi asli Australomelanesid dan pendatang Austronesia yang berciri fenotip Mongoloid (selatan) sehingga menghasilkan populasi etnik Mori.

Sebelum penutur Austronesia datang ke Sulawesi Tengah. Wilayah ini dihuni oleh ras Australomelanesid, yang merupakan manusia modern awal masa pra-aksara.

Namun hingga saat ini bukti berupa rangka manusia berkarakter ras tersebut belum ditemukan, tetapi dapat dipastikan bahwa bekas-bekas tinggalan arkeologis itu ada.

Pemaparan hasil riset tersebut, kemudian ditutup dengan penjelasan terkait potensi wisata alam dari lukisan tapak tangan yang dijelaskan oleh, Zainuddin Badollahi, yang juga anggota tim penelitian dari riset ini.

Zainuddin mengungkapkan bahwa keunikan dan nilai sejarah dari jejak tapak tangan ini menjadikan Goa Topogaro sebagai destinasi heritage tourism yang potensial.

Salah satu tantangan dari pelestarian situs lukisan tangan ini yaitu kerusakan akibat faktor alam seperti proses erosi batu dan pertumbuhan lumut didinding goa yang dapat merusak lukisan tersebut seiring waktu.

Dalam pelestariannya, perlunya dilakukan dokumentasi digital sehingga dapat diakses dan dipelajari tanpa harus langsung mengunjungi situs ini.

Zainuddin Badollahi juga mengungkapkan bahwa untuk memastikan keberhasilan pelestarian, diperlukan strategi yang berkelanjutan dengan melibatkan kolaborasi antara pemerintah, peneliti dan masyarakat lokal.

Dengan pengembangan pariwisata berbasis budaya dan sejarah, situs ini menawarkan potensi besar untuk mendukung perekonomian lokal.

“Situs lukisan tangan ini bisa menjadi daya tarik wisata yang mendatangkan pengunjung, yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan bagi masyarakat sekitar melalui pemandu wisata, penjual kerajinan tangan, dan restoran lokal” lanjutnya.