“Karena lokasi tapak tangan tersebut berada di lokasi yang tersebar dan sulit dijangkau, maka untuk menjaga keberadaan situs tersebut tidak cukup dengan keterlibatan Pemerintah saja, akan tetapi perlunya keterlibatan stakeholder lainnya” ungkap Ridwan Nonci.

Terdapat beberapa upaya kolaboratif yang dapat dilakukan untuk menjaga kelestarian situs jejak tapak tangan tersebut antara lain; perlunya keterlibatan swadaya masyarakat melalui pembentukan kelompok sadar wisata di masing-masing wilayah, perlunya pihak swasta khususnya perusahaan tambang yang beroperasi disekitar wilayah situs diharapkan untuk mematuhi prosedur penambangan sehingga tidak merusak situs tersebut, perlunya aparat penegak hukum memberikan hukuman yang maksimal terhadap piha-pihak yang sengaja merusak situs jejak tapak tangan, serta keterlibatan anggota dewan dalam pengalokasian anggaran pokok pikiran dalam pelestarian situs jejak tapak tangan.

Berdasarkan informasi yang diperoleh, wisatawan domestik maupun manca negara sudah banyak berkunjung dalam rangka melihat lukisan tapak tangan tersebut.

Dengan demikian, dapat diartikan bahwa lukisan tapak tangan ini pada dasarnya dapat memikat wisatawan untuk menjadikannya sebagai objek kunjungan wisata maupun pengembangan ilmu pengetahuan.

“Saya sangat berharap kepada perangkat daerah yang mengurusi kebudayaan dan kepariwisataan segera menyikapi hasil rekomendasi riset ini. Selain sebagai cerminan peradaban masyarakat Morut, juga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan daerah melalui kegiatan kepariwisataan” tutupnya.

Dalam materi yang dibawakan oleh, Haliadi Sadi, selaku peneliti riset tersebut mengungkapkan bahwa lukisan tapak tangan atau yang dikenal juga dengan sebutan hand stensil yang ada di Morut ini merupakan sebuah obyek diduga cagar budaya (ODCB) dan dilindungi oleh dua undang-undang yakni UU No. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya dan UU No. 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan.