RAKYAT.NEWS, Makassar – Perayaan tahun baru Imlek selalu identik dengan peragaan barongsai yang merupakan tarian tradisional Tiongkok. Pemain barongsai, menggunakan kostum menyerupai singa. Tradisi syarat makna ini, biasanya dimainkan oleh dua orang.

Seniman dan Budayawan Tionghoa Peranakan, Muhammad David Aritanto saat ditemui jurnalis Rakyat.News bercerita, barongsai dulu memiliki panjang lima meter dan diperkirakan beratnya sekitar 15 sampai 25 kilogram.

“Rautan bambunya tebal pakai rotan lagi dan ditutup dengan kertas tebal, belum lagi ekornya terbuat dari kain blacu dilapisi beberapa kain satin yang mengkilat terus dia punya pernak-pernik itu memang logam,” David bercerita.

Variasi yang biasanya dilakukan dengan tonggak tidak dimainkan oleh orang sembarangan. “Untuk kategori main tonggak, yang ekor harus lebih berat daripada yang kepala karena yang ekor ini selalu mengangkat. Harus kuat dia punya kuda-kuda,” ujarnya.

Selain untuk perayaan, menurut kepercayaan orang Tiongkok biasanya barongsai juga digunakan untuk memulai sebuah usaha. “Kalau dia diundang untuk buka toko itu biasanya dia bawa barongsai hitam dengan merah,” ungkap David.

Bagi masyarakat Tionghoa, merah juga adalah warna yang syarat dengan makna. “Merah itu sebenarnya simbol kemakmuran, sementara yang hitam itu artinya kegelapan yang dimaksudkan untuk mengusir makhluk-makhluk astral,” ucap David menyudahi.

Sepengetaguan David, barongsai ada, ketika orang belum tahu istilah Imlek. “Dia cuma menandai akhir musim dingin masuk musim semi mereka buat pesta masing-masing untuk menikmati makanan dengan keyakinan bahwa hasil panen berikutnya akan subur,” ujarnya.

Pada saat perayaan tesebut, masyarakat dahulu sering diganggu dengan kehadiran makhluk yang disebut sebagai Nian yang sering memangsa manusia. “Setelah itu mereka mengsiasati dengan membuat topeng-topengan seperti binatang dan ternyata itu efektif makhluknya lari dan menghilang,” ucap David.

Namun, makhluk itu kembali muncul di desa lain untuk menakuti warga. “Tapi ada orang tua bilang bahwa dia bisa mengusir itu dan dia malah ditertawai, ternyata dia ramu sesuatu yang akhirnya meledak dan lari itu makhluknya,” ucapnya.

Konon katanya, terdapat seorang warga desa yang melihat Nian lewat di wilayah perbatasan. “Dia lihat singa makanya dibuatlah itu wujudnya barongsai dari topeng-topengan mirip singa,” jelasnya.

Dilansir dari Warisan Budaya Tak Benda Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, catatan pertama tentang tarian ini dapat ditelusuri pada masa Dinasti Chin sekitar abad ke tiga sebelum masehi. Kesenian barongsai diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad 17.

Menurut kepercayaan orang Tionghoa singa merupakan lambang kebahagian dan kesenangan. Tarian singa dipercaya merupakan pertunjukkan yang dapat membawa keberuntungan sehingga pada umumnya diadakan pada berbagai acara penting seperti pembukaan restoran, pendirian klenteng dan perayaan tahun baru Cina.

Tarian singa terdiri dari dua jenis utama yaitu singa utara yang memiliki surai ikal dan berkaki empat. Penampilan singa utara kelihatan lebih natural dan mirip singa ketimbang singa selatan yang memiliki sisik serta jumlah kaki yang berfariasi antara dua atau empat.

Kepala singa selatan dilengkapi dengan tanduk sehingga kadangkala mirip dengan binatang ‘qilin’. Gerakan antara singa utara dengan singa selatan berbeda, bila singa selatan terkenal dengan kepalanya yang keras dan melonjak-lonjak seiring dengan tabuhan gong dan tambur, gerakan singa utara cenderung lebih lincah dan penuh dinamika karena memiliki empat kaki.

Satu gerakan utama dari tarian barongsai adalah gerakan singa memakan amplop berisi uang yang diesbut dengan istilah ‘lay see’. Diatas amplop biasa ditempeli sayuran selada air yang melambangkan hadiah bagi sang singa. Proses memakan lay see ini berlangsung sekitar separuh bagian dari seluruh tarian.

Didepan penari barongsai terdapat seorang penari lain yang mengenakan topeng dan membawa kipas. Tokoh ini disebut Sang Buhda. Tugasnya adalah untuk menggiring sang singa barong ketempat dimana amplop diisi uang disimpan.

Penulis : M Aswar