Perpustakaan selain menyediakan sumber-sumber bacaan untuk menggali informasi dan pengetahuan, dapat juga untuk menjadi tempat berbagai kegiatan pelatihan dan keterampilan berbasis literasi untuk semua kalangan. Dikutip dari Vemale, data Unesco menunjukkan bahwa dari 1.000 penduduk Indonesia yang minat membaca hanya satu orang atau perbandingannya 1000:1. Kemudian dari sisi jumlah buku, 1 buku dibaca 15 ribu orang padahal yang seharusnya menurut Unesco, 1 buku hanya dibaca untuk 2 orang.

Data di atas harusnya mampu menjawab persoalan kita yang tertuang dalam data PISA 2018. Masih kita temukan sekelumit permasalahan klasik dalam hal budaya baca buku. Seolah-olah membaca buku hanya milik para pelajar, milik yang suka menulis saja, padahal kolaborasi semua elemen harus menjadi kekuatan utama. Kita berharap lewat aktivitas dan geliat para penggiat literasi berbasis masyarakat dalam mendekatkan bahan bacaan atau buku ke masyarakat harus mampu menjawab tantangan dalam data PISA tersebut.

Peningkatan budaya baca masih sangat temporer, hanya pada jenis kegiatan tertentu. Padahal kita telah memiliki UU No.43 tahun 2007 tentang perpustakaan, namun belum mampu dioptimlakan dalam implementasi yang konkrit.
Rendahnya kesadaran orang tua dan masyarakat akan pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan literasi (membaca buku).

Selain itu lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Perbukuan juga diharapkan menjadi pondasi kuat dalam membangun budaya baca masyarakat Indonesia. Namun kita juga menyadari bahwa akses dan sarana prasarana membaca yang belum merata dan terdistribusi secara maksimal menjadi persoalan klasik. Bahan bacaan yang masih minim, kemampuan menulis buku yang belum maksimal diberdayakan serta persoalan lainnya. Fenomena ini diperparah dengan hadirnya pandemi virus covid-19 saat ini.