Pemberantasan buta aksara turun cukup signifikan. Dari angka 39,1% ditahun 1971 menjadi 4,4% ditahun 2015 (Data Statistik 70 Tahun Indonesia Merdeka, 2015). Namun data ini berbanding terbalik dengan daya dan kemampuan baca masyarakat indonesia. Budaya literasi kita masih memprihatinkan. Ini terlihat dari data PISA 2015 yang menempatkan Indonesia urutan ke 64 dari 72 negara. Sedangkan PISA 2018 kembali menunjukkan data bahwa bangsa Indonesia kembali menempati urutan 70 dari 71 negara. Sebuah data yang membuat kita sangat miris. Pun data ini menunjukkan pembagian dari aktivitas membaca buku, baik literasi numerasi, literasi baca tulis dan literasi digital yang masih rendah. Setidaknya ini jadi bahan refleksi bagi kita semua khususnya di momentum hari buku nasional ini.

Data hasil penelitian perpustakaan nasional menunjukkan bahwa rata-rata masyarakat Indonesia hanya membaca buku 3 sampai 4 kali per minggu. Itupun dengan durasi membaca per hari rata-rata menunggunakan waktu 30-59 menit.

Jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5 sampai 9 buku per orang. Data Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) menunjukkan pangsa pasar buku dalam negeri mencapai sekitar Rp 14,1 triliun per tahun. Sekitar 60 persen pasar buku berasal dari pembelian oleh pemerintah untuk sektor pendidikan. Setiap tahun ada 100.000 judul buku yang dimintakan International Series Book Number (ISBN) di Perpustakaan Nasional, namuan hanya 40 sampai 45 persen yang akhirnya benar-benar terbit.

Data tentang rendahnya literasi masyarakat Indonesia tersebut menjadi tantangan dan permasalahan kompleks. Perpustakaan mau tak mau harus bisa mengambil peran dan menjadi garda terdepan dalam menjawab permasalah tersebut. Kolaborasi dengan seluruh elemen penggiat literasi demi mewujudkan Gerakan Literasi Nasional (GLN).