Demi investasi asing, sistem pengupahan yang di ajukan semakin memperlihatkan sikap pemerintahan Jokowi yang tetap mempertahankan politik upah murah dan memperhebat perampasan upah buruh.

Begitu juga dalam pengaturan sistem hubungan kerja, sistem Outsourcing dan sistem kerja kontrak tanpa batas dan untuk semua jenis pekerja dan sektor industri. Padahal, sebelumnya dalam UU Ketenagakerjaan kerja Nomor 13 tahun 2003 kontrak hanya diperbolehkan untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara dan tidak untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

Waktu kontrak pun hanya boleh dilakukan maksimal 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 kali maksimal 1 tahun. Maka Omnibus Law jelas menciptakan Tidak Adanya Kepastian Kerja dan merugikan buruh.

Jadi isi Omnibus Law RUU Cipta Kerja memperlihatkan komitmen buruk pemerintah terhadap perlindungan buruh, petani, masyarakat adat, lingkunggan dan kedaulatan bangsa. RUU ini akan melanggengkan kondisi krisis, memudahkan investasi, namun menaruh rakyat di bawah ancaman bencana.

Pertanyaanya Apa kita sekarang mau jauh lebih mundur lagi dari zaman kolonial?

Jadi karena itu lah sulit akal sehat menerima sikap angkuh Presiden (pemeritnah) dan DPR yang ngeyel-keukeuh ngotot lanjutkan bahas Omnibus Law RUU Cipta Kerja apalagi di tengah wabah pandemi Covid 19.

Saya berharap DPR RI dan Pemerintah mendengarkan aspirasi rakyat termasuk aspirasi buruh, yaitu Pemerintah dan DPR RI segera membatalkan pembuatan Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini. Bukan menunda pembahasan atau mengeluarkan Klaster Ketenagakerjaan saja dari RUU Cipta Kerja.(*)

Terbit : Jakarta, Sabtu 25 April 2020.

Sumber : DPP-GSBI