Pandangan positif juga dilontarkan Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri. Yose menilai RUU ini bisa meningkatkan mutu tenaga kerja.

“Pekerjaan berkualitas itu jarang sekali dinikmati pekerja. Walaupun kita punya salah satu undang-undang atau aturan ketenagakerjaan yang paling restriktif di dunia, itu ternyata tidak menjamin pekerja mendapatkan pekerjaan yang berkualitas,” ujarnya, kemarin.

Sebelumnya, Guru Besar Statistika IPB, Khairil Anwar Notodiputro, mengatakan hasil survei menyatakan 82% para pekerja dan pencari kerja setuju bahwa RUU Omnibus Law ditujukan untuk memperbaiki regulasi yang menghambat investasi. “RUU juga mempermudah perizinan berusaha (90,2% setuju) serta mempermudah pendirian usaha untuk usaha mikro dan kecil (UMK) (86,4% setuju),” katanya.

Sementara itu, pengamat politik Emrus Sihombing mengingatkan jika RUU Cipta Kerja dinilai sebagai sebagai solusi pascapandemi, harus melibatkan semua elemen masyarakat. “Prinsip demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dan bersama-sama rakyat,” ujarnya.

Adapun masa pembahasan, Emrus berharap RUU ini dilakukan ketika pandemi covid-19 sudah bisa dikendalikan pemerintah.
Yang pasti, kalangan akademisi, pakar, dan peneliti yang kredibel dan imparsial tentulah memiliki dasar dan kemampuan untuk menganalisis permasalahan secara netral, bijaksana, bermanfaat dan bernilai, tentunya hasil analisa mereka sangat berbeda dengan hasil analisa yang dikemukakan oleh berbagai kelompok kepentingan, termasuk kelompok oposan dan “kelompok sakit hati”, yang intinya menolak Omnibus Law, walaupun tanpa memberikan solusi pasti dan gagasan positif bagaimana mengatasi keterpurukan ekonomi akibat Covid-19 saat ini.(*)

Terbit : Sabtu, 25 April 2020.

Sumber : Anastasia Rasti Wulandari SA (Kolumnis dan Aktifis Perempuan).