Hapus Pasal-Pasal Kontroversial/Merugikan

Salah satu kritik menyasar ketentuan dalam RUU Cipta Kerja, yang mengubah ketentuan pengenaan sanksi dan pelanggaran bagi pelaku usaha dari yang sebelumnya tindak pidana dan sanksi pidana, menjadi pelanggaran dan sanksi administratif (dekriminalisasi). Upaya ini dianggap melemahkan penegakan hukum dan berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan pelaku usaha.

jika membaca teliti pasal-pasal pengenaan sanksi dalam RUU Cipta Kerja, maka RUU ini tidak seluruhnya dan tidak serta merta menghilangkan sanksi pidana atau mengubahnya menjadi sanksi administratif.

beberapa pelanggaran diatur dengan sanksi administratif dan sanksi pidana secara alternatif berjenjang, artinya jika pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi administratif dan sanksi penggantian kerugian, maka sanksi pidana dapat dijatuhkan. Contoh konkret perubahan yang dilakukan RUU Cipta Kerja terhadap Pasal 69 hingga Pasal 71 UU Penataan Ruang.

beberapa pasal yang kontroversial sehingga harus dihapus dalam RUU Cipta Kerja yaitu pelanggaran Pasal 42 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang hanya dikenakan sanksi administratif jelas harus dicabut, dan tetap dikenakan sanksi pidana agar tenaga kerja asing yang tidak berkemampuan khusus tidak semakin membanjiri pasar kerja di Indonesia.

tidak hanya itu, RUU Cipta Kerja bahkan juga benar-benar menghapus total pelanggaran-pelanggaran (tindak pidana) tertentu berikut sanksi pidananya tanpa menggantinya dengan sanksi apapun.

sebagai contoh pelanggaran dan sanksi pidana pada pelanggaran Pasal 167 jo Pasal 184 serta Pasal 90 jo. Pasal 185 UU Ketenagakerjaan. Pasal 167 berkaitan dengan pelanggaran PHK karena usia pensiun, sedangkan Pasal 90 berkaitan dengan pelanggaran pemberian upah minimum bagi pekerja.

PASAL-PASAL INI JELAS PERLU DIREVISI ATAU DICABUT

Selanjutnya, pasal-pasal dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang diskriminatif terhadap guru dan dosen dalam negeri, dan sebaliknya sangat memihak kepada pengajar asing, seperti misalnya guru dan dosen lokal wajib sertifikasi, sedangkan pengajar asing tidak diterapkan aturan yang sama juga harus direvisi atau dicabut. Namun demikian, kalangan guru dan dosen di Indonesia juga jangan gusar, khawatir, phobia dan menolak dilakukan sertifikasi guru dan dosen, terhadap mereka karena metode ini adalah metode baik untuk mengontrol kualitas guru dan dosen di Indonesia dalam mentransfer ilmu kepada murid/mahasiswanya, sebab guru dan dosen yang tidak lulus sertifikasi, memang sepantasnya sudah digrounded, karena tantangan pendidikan ke depan semakin mengeras dan menguat, sehingga kualitas, kapasitas integritas, serta nasionalisme guru dan dosen perlu terus dijaga dan ditingkatkan.