perbedaan antara keduanya adalah dari segi pembentukannya, dimana undang-undang disetujui bersama oleh Presiden dan DPR sedangkan Perppu ditetapkan oleh Presiden.

pada kasus RUU Otsus, secara sederhana, ihwal kepentingan memaksa yang dimaksud antara lain: apabila tidak ada regulasi yang mengatur, maka Otsus yang akan berhenti 2021 tidak akan dapat dilanjutkan, sementara BPK sudah merekomendasikan untuk meneruskan stimulasi dana Otsus pada Papua dan Papua Barat.

ada konsekuensi terusan dari putusan tersebut, yaitu: keberlanjutan jaminan kesehatan, pendidikan, dan lainnya di Papua. Undang-undang yang dibutuhkan masih belum cukup memadai, karena RUU Otsus masih belum disepakati oleh DPR dan mungkin belum mengelaborasi keseluruhan aspirasi dari masyarakat Papua yang ditampung.

seluruh pelaku yang berkenaan dengan dana Otsus membutuhkannya untuk mendapatkan kepastian mekanisme implementasi Otsus setelah tahun 2021.

kita tidak berharap bahwa negara akan mengalami keterlambatan dalam rativikasi RUU Otsus, namun melihat kondisi saat ini, masih banyak yang harus dilibatkan dalam perumusan revisi UU Otsus Papua, termasuk di dalamnya adalah tokoh masyarakat, agamat, adat, dan legislative Papua dan Papua Barat.

namun, apabila hal itu tidak sempat terlaksana tepat waktu, maka sudah sepatutnya ada alternatif jalan keluar yang mulai dipikirkan untuk tetap mengakomodir pelaksanaan Otsus dengan landasan hukum yang tepat, salah satunya adalah melalui penerbitan Perppu di waktu ke depan.

Penulis : Damayanti (Mahasiswa Pasca Sarjana di Jawa Barat).(*)