Jurnal Gagasan “Rehousing” Mantan Penderita Gangguan Jiwa

Sebuah gagasan baru, mula-mula dianggap konyol, lalu dibuang karena dianggap tidak penting, sampai akhirnya diakui semua orang (Chicken Soup for the Soul at Work, William James, 2017)

 

PENDAHULUAN

Banyak orang belum menyadari jika mereka mungkin mengalami masalah gangguan jiwa. Contoh sederhana seperti depresi dan cemas, kurang dikenali masyarakat sebagai masalah gangguan jiwa. ”Gangguan jiwa seringkali timbul karena tidak terpenuhinya harapan sosial (social expectation). Penderita tidak berhasil memenuhi harapan dalam hal yang dianggap wajar dan normal oleh orang lain” (Muzaham, 1995: 202).

Orang yang mengalami gangguan jiwa sering kali dianggap menyimpang dari mayoritas masyarakat umum dan dipandang rendah. Menurut catatan World Health Organization (WHO), lebih dari 40% negara di dunia tidak mempunyai undang-undang mengenai kesehatan jiwa. Bahkan, 30% negara di dunia tidak mempunyai program mengenai kesehatan jiwa. WHO juga mencatat bahwa satu diantara empat orang di seluruh dunia memiliki masalah kejiwaan, dan pada tahun 2020 diperkirakan gangguan jiwa terutama cemas dan depresi akan menjadi penyebab kematian kedua setelah penyakit jantung. Mereka dianggap dapat mengusik tatanan kehidupan “normal” yang ada. Gejala utama pada gangguan jiwa mungkin tidak terdapat pada unsur kejiwaan, tetapi mungkin di badan (somato genik), lingkungan sosial (sosio genik) ataupun psikis (psiko genik). Semakin beratnya persaingan dan tekanan hidup di perkotaan, konsumerisme yang tinggi, kurangnya kemampuan adaptasi warga/masyarakat terhadap perubahan lingkungan, bahkan adanya hiperrealisme akibat pengaruh media ditengarai sebagai penyebab meningkatnya jumlah gangguan jiwa. Peningkatan ini kerap kali dipicu oleh masalah ekonomi, stres sosial, stres kerja, trauma bencana, korban kejahatan, dan lainnya yang terjadi di lingkungan mereka. Bahkan ranah politik pun kerap menjadi penyebab terjadinya gangguan jiwa. Sementara pemerintah, sebagai lembaga pengayom rakyat, ternyata juga belum maksimal bahkan nyaris tidak memikirkan mereka, malah terkesan mengasingkan mereka dengan berbagai cara.

Di Indonesia, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007, prevalensi penyakit mental menduduki urutan ke-3 terbesar yakni 11,6%. Diestimasi pula jumlah gangguan jiwa berat di Indonesia sebanyak 0,46% dari seluruh penduduk dewasa Indonesia. Jika penduduk Indonesia dewasa sebanyak 70% dari seluruh penduduk maka 0,46% nya mengalami gangguan jiwa berat atau sekitar 1,75 juta jiwa.

Adapun kondisi di Sulawesi Selatan, penyakit mental tercatat sebesar 13,7% (RISKESDAS, 2007). Data Rumah Sakit Khusus Daerah Dadi Provinsi Sulawesi Selatan (Laporan Rekam Medik RSKD Dadi, 2018) mencatat jumlah penderita jiwa yang dirawat inap per 31 Desember 2018 sebanyak 665 orang, dengan 520 tempat tidur. Jika dibandingkan dengan ketersediaan tempat tidur nampak bahwa terdapat penderita yang tidak memperoleh tempat tidur. Dari 665 penderita tersebut, separuhnya berasal dari Kota Makassar dan sisanya tersebar di 23 kabupaten/kota. Data lain yang diperoleh dari RSKD Dadi yakni hingga bulan Mei 2019 terdapat 20% (lebih dari target < 10%) mantan penderita gangguan jiwa yang ”herop” (baca: kembali) ke rumah sakit dalam rentang waktu < 1 bulan. Rata-rata keluhan keluarga penderita yang herop adalah karena saat dirumah gelisah dan bahkan mengamuk.

 

PERMASALAHAN

Konsekuensi kebijakan terhadap upaya kesehatan jiwa menghadapkan kita kepada sebuah realitas yang terjadi pada mantan penderita gangguan jiwa saat ini.  Realitas sosial yang terjadi di masyarakat adalah penolakan dan ketidak pedulian terhadap mantan penderita gangguan jiwa di Kota Makassar masih tinggi. Fenomena ini menggambarkan sebuah tanda kegagalan dalam sistem masyarakat, termasuk keluarga. Ritzer (2013:58) menyatakan bahwa ”Kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antar individual dan antar kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar”.

Manusia sebagai makhluk sosial tentu membutuhkan interaksi. Tidak terkecuali para mantan penderita gangguan jiwa. Mereka juga berhak memperoleh kehidupan yang baik, meraih cita-cita dan mendapatkan dukungan dari lingkungan. Sebagai bagian dari masyarakat – apalagi keluarga – kita wajib untuk menerima mereka kembali dengan baik. Setiadi dan Usman (2011:303) menyebutkan bahwa ”Dimanapun, keluarga merupakan kebutuhan manusia yang bersifat universal dan menjadi pusat terpenting dari kegiatan dalam kehidupan individu”.

Hasil observasi sehari-hari di RSKD Dadi, respon keluarga terhadap mantan penderita jiwa yang dikembalikan ke rumah bervariasi, ada yang menerima, tidak peduli bahkan menolak. Masih banyak penderita yang telah tenang dan layak pulang namun kembali ke rumah sakit. Mereka yang kembali (relaps) ini bukanlah semata-mata karena faktor medis, melainkan lebih dipengaruhi oleh faktor penolakan dan ketidak pedulian keluarga dan lingkungan sekitarnya karena:

  • Keluarga dan masyarakat menganggap gangguan jiwa adalah penyakit yang memalukan dan

membawa aib bagi keluarga

  • Keluarga tidak mau atau malu menerima kembali keluarganya setelah dirawat
  • Keluarga merasa terganggu dan takut jika tiba-tiba mengamuk

Belum lagi pandangan buruk orang yang menganggap bahwa penyakit ini genetis. Jika salah seorang keluarga menderita jiwa maka dicap sebagai keluarga dengan keturunan sakit jiwa. Kondisi ini menciptakan stigma negatif di masyarakat. Adanya stigma negatif menyebabkan proses penyembuhan mengalami banyak hambatan. Hampir dua pertiga penderita gangguan jiwa tidak pernah mencari bantuan profesional. Stigma negatif semakin menyuburkan penolakan terhadap mantan penderita gangguan jiwa.

Bukan karena stigma buruk itu saja, tetapi juga karena status sosial ekonomi keluarga yang masih rendah seperti minimnya pengetahuan dan kepedulian masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan gangguan jiwa. Akibatnya, hak penderita dirampas dengan cara dipasung atau bila ingin dianggap manusiawi rumah sakit jiwa adalah solusinya. Pemasungan adalah buah dari ketidakmampuan masyarakat mengakses pelayanan kesehatan jiwa.

Kesemuanya itu menjadikan mantan penderita gangguan jiwa merasa terkucil secara sosial. Penelitian tentang penolakan sosial terhadap mantan penderita gangguan jiwa yang dilakukan oleh Turner mengungkapkan bahwa ”Experiences of social rejection increase feelings of self-deprecation, which act to weaken a sense of mastery and self control (Barham and Haywood 1991). In turn, this has the effect of reducing feelings of self-mastery and has long-term implications for a person’s ability to function fully in society (Wright et al. 2000)” (Turner, 1988:56).

 

GAGASAN “REHOUSING” MANTAN PENDERITA GANGGUAN JIWA

Konsep pembangunan adalah kegiatan untuk menghasilkan perubahan multi dimensi dalam kehidupan masyarakat, yang mencakup perubahan-perubahan dalam sikap, orientasi hidup, lembaga-lembaga masyarakat, percepatan pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan pengurangan kesenjangan sosial.

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa ‘Sehat adalah suatu keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi’. Selanjutnya pada Bab IX Pasal 144 dinyatakan bahwa:

  • Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa,
  • Upaya kesehatan jiwa terdiri atas preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif pasien gangguan jiwa dan masalah psikososial,
  • Upaya kesehatan jiwa menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Menurut Kementrian Kesehatan RI, ada empat (4) perubahan dasar pada kebijakan kesehatan jiwa: 1) sistem berbasis rumah sakit menjadi berbasis komunitas, 2) penderita gangguan jiwa dapat dirawat pada seluruh pelayanan kesehatan, 3) penderita gangguan jiwa dapat dirawat sebagai penderita rawat jalan (tidak harus dirawat di bangsal), 4) penderita gangguan jiwa didukung untuk mandiri.

Sementara Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial yang di tindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, menyebutkan bahwa Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial warga Negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Terkait dengan kebijakan-kebijakan tersebut maka dalam terapi penderita gangguan jiwa, bukan hanya psikiater yang diperlukan tetapi semua kalangan masyarakat juga harus ikut ambil bagian. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa diagnosa dan terapi dalam kesehatan jiwa, tidak semata kedokteran fisik, namun meliputi asas-asas dinamika psikologi individu sebagai medical aspect dan interaksi sosialnya sebagai social aspect.

Beranjak dari Teori Fungsionalisme dimana masyarakat digambarkan seperti sebuah organisme/tubuh yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berhubungan secara fungsional dan keterhubungan tersebut membentuk sistem social yang mana setiap bagian memiliki fungsi spesifik yang jelas, dicerminkan oleh kelembagaan-kelembagaan masyarakat.

Di samping Teori Fungsionalisme, pemodelan ini juga mengacu kepada pendekatan Teori Kompleksitas. Realitas masih tingginya penolakan dan ketidak pedulian terhadap mantan penderita gangguan jiwa oleh karena adanya disorder, non linear dan uncertainty dari penerapan kebijakan yang ada menuntut pemecahan masalah yang melibatkan banyak pengetahuan dan banyak pihak.

Untuk merumahkan dan memasyaratkan kembali para mantan penderita gangguan jiwa ke masyarakat dan melaksanakan fungsi sosialnya maka diperlukan sebuah model sosial atau program intervensi. Gambar 1 dibawah ini mengilustrasikan “rehousing” mantan penderita gangguan jiwa yang dilaksanakan saat ini, dimana mantan penderita gangguan jiwa yang telah dianggap tenang oleh pihak petugas kesehatan di rumah sakit langsung di kembalikan ke rumahnya tanpa melalui sebuah halfway house (sanatorium/inkubasi). Kondisi ini banyak menimbulkan masalah dalam keluarga, sikap keluarga ada yang menerima, tidak peduli bahkan menolak. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah ruang (space) yang berada antara rumah sakit dan rumah keluarga, atau sebuah halfway house (sanatorium/inkubasi).

 

Pada gambar 2 dibawah ini mengilustrasikan adanya sebuah Halfway House (sanatorium/inkubasi) yang berfungsi sebagai tempat adaptasi antara mantan penderita jiwa dengan keluarga/masyarakat. Di halfway house ini dilakukan juga psiko-sosial edukasi.

 

Terapi sosial di halfway house (sanatorium/inkubasi) diberikan kepada mantan penderita jiwa dan keluarganya. Terapi sosial bagi mantan penderita jiwa diberikan sesuai dengan keterampilan yang dimilikinya sebagai bekal mereka kembali ke masyarakat seperti: terapi musik, terapi kerja (menjahit, montir,dll), terapi olahraga, terapi melukis. Sedangkan bagi keluarga diberikan sosial edukasi seperti family gathering, sharing, hingga membentuk suatu wadah. “Rehousing” dilakukan secara bertahap (step-time), dan tetap memperhatikan Activity Daily Living (ADL) mantan penderita gangguan jiwa baik ketika berada di halfway house (sanatorium/inkubasi) maupun di rumah. ADL merupakan alat ukur layak tidaknya “rehousing” bagi mantan penderita gangguan jiwa.

Gagasan pemodelan tersebut, sejalan dengan pengalaman seorang mantan penderita gangguan jiwa yang menulis dalam sebuah artikel bahwa diluar negeri telah dikembangkan sistem dimana penderita setelah selesai masa perawatan di RS Jiwa dapat tinggal di halfway houses yang sengaja dibangun untuk itu, sehingga dapat menolong penderita dari tekanan atau lecehan orang lain dalam melanjutkan hidupnya. Di Indonesia konsep tersebut belum dikembangkan.

Sementara di Inggris, model pemberdayaan penderita yang digunakan oleh para profesional adalah dengan menghargai mantan penderita sebagai seorang “experts in their own experience” (ahli dalam pengalamannya sendiri) (Roberts, 2000 dalam Subandi, 2010), sehingga mereka diberi kesempatan untuk terlibat dalam pelayanan kesehatan mental. Dalam gerakan pemberdayaan, konsumen ternyata tidak sendirian. Mereka juga didukung oleh anggota keluarga mereka. Ini mengingat bahwa dampak gangguan jiwa tidak hanya dialami oleh penderita saja, tetapi juga anggota keluarga mereka. Beban psikis dan sosial ekonomis keluarga sangat besar. Salah satu diantaranya adalah stigma terhadap keluarga. Oleh karena itu sejumlah anggota keluarga dari para penderita gangguan jiwa mendirikan The National Alliance on Mental Ilness (NAMI). Organisasi ini bertujuan untuk membantu diri mereka sendiri dan anggota keluarga mereka yang mengalami gangguan mental (https://www.nami.org/).

NAMI adalah sebuah organisasi yang diatur untuk dan oleh keluarga dan konsumen. Tidak ada campur tangan pihak professional maupun pemerintah dalam pengambilan kebijakan. Para professional dipersilahkan berpartisipasi sebagai simpatisan. Program yang dilaksanakan antara lain memberikan public education and information. Termasuk di sini adalah membantu konsumen dan keluarganya untuk mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan untuk hidup dengan gangguan jiwa. Mereka juga menyelenggarakan support group yang dilaksanakan family-to-family dan peer-to-peer. Program yang lain adalah awareness and stigma di mana mereka melakukan talk show dan rally untuk menggalang dana dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang gangguan jiwa. Mereka juga memberikan respon tentang stigma yang kurang benar tentang gangguan jiwa dengan menulis di berbagai media massa. Sekaligus juga berusaha meningkatkan pemahaman masyarakat sehingga masyarakat dapat menghargai dan menerima orang yang mengalami gangguan jiwa.

Di Indonesia sejauh ini belum ada sebuah organisasi atau kelompok mantan penderita gangguan jiwa atau keluarganya, seperti yang dilakukan oleh The National Alliance on Mental Illness (NAMI) (Subandi, 2010). Namun indikasi mengarah ke sana sudah mulai tampak. Misalnya telah muncul beberapa buku yang memberikan gambaran tentang pengalaman menjadi pasien gangguan jiwa. Selain penerbitan buku, muncul juga gerakan pemberdayaan pasien dan keluarga gangguan jiwa. Caranya dengan melibatkan keluarga dalam proses terapi yang diberikan pihak rumah sakit. Beberapa RSJ telah menerapkan kegiatan family gathering dimana keluarga diberi psikoedukasi mengenai gangguan jiwa, penyebab dan terapinya. Dalam kesempatan ini keluarga juga mendapatkan kesempatan untuk berbagi pengalaman. Saat ini juga telah hadir Yayasan Skizofrenia Indonesia yang bertujuan untuk pemberdayaan pasien dan keluarga. Namun organisasi ini dibentuk dan dikelola oleh para profesional kesehatan mental. Akan lebih baik lagi kalau ada sebuah organisasi yang dibentuk sendiri oleh mantan pasien atau keluarga, seperti yang dilakukan oleh NAMI.

 

KESIMPULAN

Mengamati fenomena sosial terhadap mantan penderita gangguan jiwa saat ini maka nampak bahwa masalah tersebut tidaklah tunggal namun ganda. Oleh sebab itu dibutuhkan pemecahan masalah yang tidak tunggal juga. Tidak cukup dengan satu (1) pengetahuan atau satu (1) pihak saja seperti RS Jiwa. Diperlukan multi perspektif/pengetahuan/pihak/tingkatan dalam mengembalikan fungsi sosial setiap mantan penderita gangguan jiwa seperti keterlibatan keluarga dan masyarakat serta pemerintah (Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Pendidikan, dll). Lebih khusus lagi diperlukan sebuah wadah untuk rehousing semacam sanatorium atau inkubasi bagi mantan penderita gangguan jiwa sebagai tempat adaptasi dan interaksi sosial sekaligus sebagai tempat tinggal yang layak bagi mantan penderita gangguan jiwa yang tidak memiliki tempat tinggal atau yang ditolak oleh keluarganya.

 

Pikiran kita merayakan kemenangan kecil setiap kali kita berhasil merumuskan gagasan

(Ralph Waldo Emerson)

Medio, Juli 2019

 

Penulis: Dr. Shermina Oruh, SKM, DESS (email: soruh@yahoo.fr  )

Editing: Yunus paraya SKM,M.M.Kes. (azaryabrianto@gmail.com )