Komisi Informasi dari Paradigma Administratif Menuju Akuntabilitas Nyata
Penurunan ini mengindikasikan bahwa keterbukaan informasi tidak sekadar bergantung pada regulasi atau indikator formal, tetapi pada implementasi nyata di tingkat daerah dan pusat, termasuk kapasitas teknis, sumber daya manusia, dan komitmen pimpinan badan publik itu sendiri.
Lebih jauh, data Monev 2025 menunjukkan bahwa beberapa entitas justru konsisten memenuhi kriteria, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memperoleh predikat “informatif” dengan nilai tinggi (94,50), membuktikan bahwa komitmen internal terhadap keterbukaan informasi dapat mendorong kepercayaan publik dan efektivitas tugas lembaga.
Namun kasus-kasus seperti ini justru memperlihatkan ketimpangan: sementara beberapa institusi progresif berhasil menjalankan prinsip keterbukaan secara efektif, banyak badan publik lainnya masih membisu atau sekadar memenuhi kewajiban secara simbolis. Hal itulah memperlemah posisi Komisi Informasi untuk benar-benar mempromosikan transparansi sebagai budaya pemerintahan, bukan sekadar kewajiban administratif.
Selain itu, tantangan sistemik lain yang perlu dicatat adalah resistensi terhadap revisi UU KIP yang sudah menjadi rekomendasi strategis internal Komisi Informasi melalui Rapat Kerja Teknis (Rakernis) 2025. Rakernis itu meminta percepatan revisi aturan untuk memperkuat penyelesaian sengketa informasi serta memperluas cakupan keterbukaan informasi di berbagai sektor publik, juga menunjukkan bahwa belum semua kendala dapat diatasi melalui instrumen yang ada saat ini.
Pengalaman di 34 provinsi juga memberi gambaran lain: struktur PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) memang semakin tersebar, tetapi ketimpangan kualitas layanan, integrasi teknologi, dan kecepatan respons informasi masih menjadi pekerjaan rumah nyata.
Apa implikasi dari semua ini bagi demokrasi kita? Keterbukaan informasi bukan sekadar angka statistik, ini soal hak masyarakat untuk mengetahui dan terlibat dalam pengambilan keputusan publik. Ketika badan publik tidak mampu membuka akses informasi dengan cepat, akurat, dan akuntabel, ruang demokrasi menjadi terbatasi. Komisi Informasi tidak dapat berperan maksimal jika masih menghadapi resistensi budaya institusional yang kuat.








Tinggalkan Balasan