Oleh: Haerullah Lodji, Pengurus PD Himpaudi Jeneponto

Sebagai pengurus PD Himpaudi Jeneponto yang melibatkan diri dalam pengembangan program parenting, literasi dan pengasuhan anak usia dini, saya selalu mendapatkan wawasan dari para praktisi dan tenaga pendidik Paud untuk memperkuat pemahaman saya.

Ketika membaca ulasan Bachtiar Adnan Kusuma tentang peran ayah dalam literasi anak, saya sangat tertarik dan terinspirasi. Pun ketika membahas Program Ammaca (Ayah Membaca) yang dijalankan oleh Paud Belay Kasih. Bagi saya, program ini bukan hanya contoh praktek baik, melainkan bukti nyata akan “kedahsyatan” sosok ayah yang seringkali terlewatkan dalam ranah pengasuhan dan pendidikan.

Menurut BAK, peran ayah dalam mengenalkan literasi sejak dini memiliki dimensi yang unik. Berbeda dengan pendekatan yang seringkali lebih rinci dan mendetail dari ibu, ayah cenderung membawa nuansa petualangan dan keberanian dalam membaca. Ketika ayah menjadi orang yang pertama mengenalkan buku dan cerita kepada anak, anak tidak hanya belajar membaca, tetapi juga belajar keberanian untuk mengeksplorasi dunia melalui kata-kata.

Dari pengalaman saya di Himpaudi Jeneponto, anak-anak yang rutin dibaca oleh ayah cenderung lebih percaya diri dalam mengungkapkan ide dan lebih senang mencoba hal-hal baru – termasuk dalam membaca teks yang lebih menantang.

Program Ammaca sendiri menjadikan ayah sebagai panutan dan patron literasi, tetapi maknanya jauh lebih dalam dari itu.

Tidak hanya sekadar contoh dalam aktivitas membaca sehari-hari, program ini menghadirkan ayah sebagai kebanggaan dan cerminan bagi anak. Saya sering melihat dalam pertemuan orang tua di Paud-Paud di Jeneponto, selama ini ibu selalu tampil sebagai sosok sentral – mengatur jadwal, membahas perkembangan anak, dan menjalankan kegiatan literasi.