Sedangkan, Tenaga Ahli Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ali Mochtar Ngabalin menyebutkan, pemerintah saat ini tengah mendata warga negara Indonesia (WNI) eks anggota Islamic State of Iraq and Syria ( ISIS). Menurut dia, hingga saat ini ada sekitar 600 WNI yang terkonfirmasi sebagai eks ISIS, dan ada 1.800 orang yang tak terkonfirmasi.

“Pemerintah saat ini hanya membuat alternatif aturan hukum. Alternatif aturan hukum itu yaitu, pemerintah membentuk tim untuk memutuskan secara resmi nasib WNI eks ISIS. Sejauh ini, pemerintah telah memiliki dua draf terkait wacana pemulangan WNI eks ISIS, yaitu draf persetujuan pemulangan dan draf penolakan.”

“Sehingga pada Juni 2020, diharapkan presiden sudah dapat mengambil keputusan soal wacana pemulangan WNI terduga teroris lintas batas negara, terutama eks ISIS.”

Menurut penulis, ide yang disampaikan kepada Komnas HAM patut dicoba oleh pemerintah, karena pemerintah tidak dapat menilai semua eks WNI yang tergabung ISIS adalah salah, sebab keterlibatan mereka di ISIS juga berbeda-beda, yang pasti untuk penyelesaiannya tetap harus ada penghormatan terkait HAM bagi eks simpatisan ISIS tersebut, sehingga langkah pemerintah membuat aturan hukum sudah tepat agar ada langkah yang pasti dan pemerintah tidak disalahkan di kemudian hari.

“Pendapat yang pro pada umumnya menilai pemerintah sebaiknya menerima atau memulangkan mereka karena alasan kemanusiaan, mereka juga korban agitasi dan propaganda yang mungkin semuanya terjadi karena minimnya literasi dan cipta opini yang dilakukan pemerintah, termasuk ada yang berpendapat mereka yang masih anak-anak, perempuan dan tidak pernah melakukan tindak pidana serta bukan kombatan masih layak diklasifikasi sebagai WNI.”

“Pendapat-pendapat ini juga patut dihargai dan dijadikan masukan, termasuk pendapat kalangan yang kontra seperti dikemukakan Stanislaus Riyanta, Ali Mochtar Ngabalin, rencana aksi unjuk rasa menolak mereka yang akan dilakukan kelompok atas nama Gerakan Rakyat Peduli Bangsa di Monas pada 10 Februari 2020 dan lain-lain juga patut diperhitungkan, yang pasti jangan terjadi “hiperbolisme” dari wacana ini, karena tidak menguntungkan bagi pemerintah ke depan.