Isu Perkawinan Anak Perlu Dibahas Hingga Tingkat Musrembang Desa
Husaima Husain selaku Aktivis Perempuan Sulsel mengatakan bahwa perkawinan anak dapat mengakibatkan sejumlah masalah pada berbagai hal, seperti kenaikan angka kemiskinan, angka stunting, penderita kanker serviks dan payudara. Oleh karena itu, isu ini menjadi perhatian pemerintah lima tahun ke depan.
Hal itu ditindak lanjuti dengan revisi UU perkawinan, terkait peraturan Mahkamah Agung (MA) mengenai dispensasi perkawinan lantaran banyak yang mau nikah sebelum waktunya atau belum mencukupi umur.
“Ini dipahami untuk persetujuan nikah, padahal dispensasi ini memberi waktu kepada mereka calon pasangan suami istri (pasutri) untuk menjalani masa anak-anaknya,” kata Emma sapaannya.
Selain itu, UU untuk batas usia perkawinan anak sudah ditentukan pada umur 19 tahun. Ini berarti hanya ada satu tahun dari 18 ke 19 tahun untuk periode anak-anak ini mempersiapkan lahir batin untuk menjalani perkawinan.
“Tetapi tidak ada garansi bahwa mereka bisa menciptakan keluarga sakinah mawaddah warahmah (Samawa). Belum lagi, sekolah seringkali menjadi lahan empuk untuk menikahkan anak yang tidak sekolah oleh orangtuanya,” ungkap Emma.
Data menunjukkan bahwa tahun 2018 ada 13.880 kasus yang masuk ke PA, angka ini 20 kali lipat meningkat dari kasus serupa pada tahun 2005.
“Hasil penemuan kami di lapangan juga mendapati bahwa 7 dari 10 perkara kawin anak itu tidak hamil, padahal banyak yang menyampaikan bahwa anaknya hamil. Ternyata ini karena kemauan orangtua yg lebih besar mengawinkan anak,” jelasnya.
Oleh karena itu, isu perkawinan anak, kata Emma bukan hanya menjadi pekerjaan pemerhati anak, pemerintah dan praktisi anak. Namun membutuhkan seluruh pihak, khususnya pada tatanan keluarga yang dimulai dari kebijakan pemda hingga pada tingkat desa dan kelurahan.
Tinggalkan Balasan