Komisi Informasi dari Paradigma Administratif Menuju Akuntabilitas Nyata
Oleh: Dr. Zulkarnain Hamson, S.Sos., M.Si.
Instruktur Jurnalistik & Media Program Prakerja Nasional
Sejak keberadaannya diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), Komisi Informasi Republik Indonesia (KIP) dipersepsikan sebagai pilar utama dalam membuka ruang publik terhadap informasi negara. Idealnya, lembaga ini menjadi jembatan antara negara dan warga, serta instrumen penting untuk memperkuat demokrasi dan menekan praktik korupsi. Namun, data terbaru menunjukkan bahwa realitas di lapangan masih jauh dari retorika tersebut.
Pada akhir tahun 2025, Komisi Informasi Pusat mengumumkan hasil Monitoring dan Evaluasi (Monev) keterbukaan informasi publik, yang menunjukkan fakta memprihatinkan: dari 387 badan publik yang dinilai, 121 lembaga masuk kategori “Tidak Informatif” dan 34 lainnya sebagai “Kurang Informatif”. Artinya, lebih dari sepertiga badan publik belum memenuhi standar minimum keterbukaan informasi yang diwajibkan oleh undang-undang.
Fenomena ini bukan sekadar statistik administratif. Temuan tersebut, yang mencakup kementerian strategis seperti Kementerian Hak Asasi Manusia hingga lembaga negara seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan TNI, memperlihatkan bahwa keterbukaan informasi seringkali tersandera oleh kultur birokrasi yang tidak serius terhadap kewajiban transparansi, meskipun secara formal aturan sudah jelas.
Data historis mengenai Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP) yang dirilis Komisi Informasi menunjukkan tren yang menarik, namun sekaligus memberikan catatan penting. IKIP sebagai alat ukur nasional mengalami peningkatan selama beberapa tahun sejak 2021 hingga 2024, dengan skor nasional naik dari 71,37 menjadi 75,65.
Namun laporan internal terbaru dari dokumen IKIP 2025 yang beredar menandakan tren menurun, yakni “penurunan tajam skor nasional lebih dari sembilan poin” dibanding tahun sebelumnya, sebuah sinyal that praktik keterbukaan masih menghadapi tantangan serius.
Penurunan ini mengindikasikan bahwa keterbukaan informasi tidak sekadar bergantung pada regulasi atau indikator formal, tetapi pada implementasi nyata di tingkat daerah dan pusat, termasuk kapasitas teknis, sumber daya manusia, dan komitmen pimpinan badan publik itu sendiri.
Lebih jauh, data Monev 2025 menunjukkan bahwa beberapa entitas justru konsisten memenuhi kriteria, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memperoleh predikat “informatif” dengan nilai tinggi (94,50), membuktikan bahwa komitmen internal terhadap keterbukaan informasi dapat mendorong kepercayaan publik dan efektivitas tugas lembaga.
Namun kasus-kasus seperti ini justru memperlihatkan ketimpangan: sementara beberapa institusi progresif berhasil menjalankan prinsip keterbukaan secara efektif, banyak badan publik lainnya masih membisu atau sekadar memenuhi kewajiban secara simbolis. Hal itulah memperlemah posisi Komisi Informasi untuk benar-benar mempromosikan transparansi sebagai budaya pemerintahan, bukan sekadar kewajiban administratif.
Selain itu, tantangan sistemik lain yang perlu dicatat adalah resistensi terhadap revisi UU KIP yang sudah menjadi rekomendasi strategis internal Komisi Informasi melalui Rapat Kerja Teknis (Rakernis) 2025. Rakernis itu meminta percepatan revisi aturan untuk memperkuat penyelesaian sengketa informasi serta memperluas cakupan keterbukaan informasi di berbagai sektor publik, juga menunjukkan bahwa belum semua kendala dapat diatasi melalui instrumen yang ada saat ini.
Pengalaman di 34 provinsi juga memberi gambaran lain: struktur PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) memang semakin tersebar, tetapi ketimpangan kualitas layanan, integrasi teknologi, dan kecepatan respons informasi masih menjadi pekerjaan rumah nyata.
Apa implikasi dari semua ini bagi demokrasi kita? Keterbukaan informasi bukan sekadar angka statistik, ini soal hak masyarakat untuk mengetahui dan terlibat dalam pengambilan keputusan publik. Ketika badan publik tidak mampu membuka akses informasi dengan cepat, akurat, dan akuntabel, ruang demokrasi menjadi terbatasi. Komisi Informasi tidak dapat berperan maksimal jika masih menghadapi resistensi budaya institusional yang kuat.
Pemerintah dan DPR harus melihat data 2025 sebagai alarm reformasi. Revisi UU KIP, penguatan sanksi administratif terhadap badan publik yang tidak patuh, serta penegakan putusan Komisi Informasi yang lebih tegas harus menjadi agenda prioritas. Tanpa itu, keterbukaan informasi akan terus menjadi slogan yang jauh dari implementasi riil.
Transparansi adalah jantung demokrasi, tetapi jantung tidak akan berdetak tanpa sistem yang sehat dan komitmen yang kuat. Komisi Informasi telah memberikan data; kini saatnya elit politik dan birokrasi menunjukkan komitmen mereka dalam praktik nyata.(z)








Tinggalkan Balasan