Bagian Kedua : Tim Riset Aksi Cegah Perkawinan Anak Pattiro Jeka

Setelah melalui tahapan pengumpulan dan analisis data yang komprehensif, riset aksi cegah perkawinan anak berhasil mengidentifikasi pola dan faktor kunci yang menjadi dasar permasalahan ini.

Temuan yang diperoleh tidak hanya menggambarkan kondisi aktual di lapangan, tetapi juga menunjukkan hubungan timbal balik antara berbagai elemen sosial, ekonomi, budaya dan hukum yang berkontribusi pada kelangsungan praktik perkawinan anak.

1. Faktor Ekonomi: Sebanyak 68% responden mengaku bahwa kemiskinan keluarga adalah alasan utama anak mereka dinikahkan di bawah umur. Banyak keluarga melihat perkawinan sebagai cara untuk mengurangi jumlah tanggungan dan mendapatkan bantuan ekonomi dari pihak calon suami.
Selain itu, rendahnya kesempatan kerja bagi orang tua membuat mereka tidak mampu menyekolahkan anak-anak hingga usia dewasa.

2. Faktor Budaya : Di beberapa komunitas, perkawinan dini dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi dan cara untuk melindungi kehormatan anak perempuan.
Sebanyak 52% responden menyatakan bahwa pandangan masyarakat tentang “usia yang tepat untuk menikah” masih berada di bawah usia 18 tahun. Selain itu, anggapan bahwa pendidikan tidak terlalu penting bagi anak perempuan juga menjadi faktor pendukung.

3. Faktor Hukum dan Kebijakan : Kurangnya penegakan hukum terhadap pelaku perkawinan anak menjadi kendala utama. Hanya 12% kasus perkawinan anak yang dilaporkan ke instansi terkait, dan sebagian besar kasus diselesaikan secara damai melalui jalur adat.
Keterbatasan akses layanan informasi tentang kesehatan reproduksi dan hak anak juga membuat remaja rentan terhadap tekanan perkawinan dini.

4. Faktor Pendidikan: Rendahnya tingkat partisipasi anak perempuan di sekolah (hanya 45% yang menyelesaikan pendidikan menengah pertama) membuat mereka lebih mudah dikenai tekanan untuk menikah dini.
Kurangnya fasilitas sekolah yang ramah anak dan kurangnya pemahaman tentang pentingnya pendidikan juga berkontribusi pada kondisi ini.

Dampak pada Individu :

1.Korban perkawinan anak mengalami gangguan perkembangan fisik dan psikologis, dengan 72% melaporkan adanya stres dan kecemasan pasca perkawinan.
Risiko komplikasi kehamilan dan persalinan juga meningkat signifikan, dengan angka kematian ibu muda lebih tinggi 3 kali lipat dibandingkan ibu yang menikah setelah usia 18 tahun.
Selain itu, 85% korban tidak dapat melanjutkan pendidikan setelah menikah, yang membatasi kesempatan kerja di masa depan bisa 100%, semua responden tidak ada yang melanjutkan Pendidikan.

2.Dampak pada Masyarakat : Perkawinan anak berkontribusi pada penurunan kualitas sumber daya manusia, dengan tingkat pendapatan rumah tangga yang lebih rendah 40% dibandingkan keluarga yang tidak memiliki riwayat perkawinan anak.
Selain itu, angka kekerasan dalam rumah tangga meningkat di kalangan pasangan muda, serta terganggunya proses pembangunan sosial ekonomi daerah.

Temuan tentang faktor penyebab dan dampak perkawinan anak menjadi dasar untuk merumuskan strategi aksi yang tepat sasaran, yang akan dijabarkan dalam seri ketiga. (*)