RAKYAT NEWS, JAKARTA – Remaja merupakan fase peralihan dari masa kanak-kanak ke dewasa. Pada fase ini, terjadi banyak perubahan fisik maupun psikologis yang membuat emosi remaja cenderung tidak stabil.

Kondisi tersebut seringkali berhubungan dengan gangguan kesehatan mental.

Berdasarkan Data Survey Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 yang dianalisis oleh Tim Jurnalisme Data Harian Kompas, prevalensi depresi pada penduduk berusia di atas 15 tahun adalah sebagai berikut:

  • 15-24 tahun = 2%
  • 75+ tahun = 1,9%
  • 65-74 tahun = 1,6%
  • 23-34 tahun = 1,3%
  • 55-64 tahun = 1,2%
  • 45-54 tahun = 1,1%
  • 35-44 tahun = 1%

Sementara itu, data menunjukkan bahwa prevalensi depresi yang diobati adalah sebagai berikut:

  • 15-24 tahun = 10,4%
  • 25-34 tahun = 11,7%
  • 35-44 tahun =13,8%
  • 45-54 tahun = 12,3%
  • 55-64 tahun = 17,7%
  • 65-74 tahun = 15,4%
  • 75+ tahun = 15,4 %

Berdasarkan informasi dari Tim Jurnalisme Data Albertus Krisna, mayoritas individu dengan depresi berada dalam rentang usia muda 15-24 tahun atau generasi Z.

“Tapi di satu sisi, mereka paling kecil presentasenya yang berkunjung ke profesional atau berobat, hanya 10,4%,” ujarnya dalam acara Kompas Editor’s Talks: Apakah Masyarakat Indonesia Sudah Cukup Sehat Mental?.

Krisna mengungkapkan bahwa meskipun sebagian besar generasi Z menyadari mengalami gangguan mental, hanya sedikit yang meminta bantuan profesional.

“Kita mewawancarai banyak narsum bahwa ada banyak faktor yang memengaruhi hal itu. Salah satunya karena takut bercerita pada orangtua, karena masih dianggap tabu,” ujarnya.

Pandangan orangtua yang menilai masalah kesehatan mental adalah hal yang tabu dan komunikasi orangtua-anak yang tidak baik, membuat anak takut untuk bercerita.

Terkadang, orangtua juga mengaitkan gangguan kesehatan mental dengan hal-hal mistik, sehingga mempersulit proses pengobatan yang seharusnya dilakukan.

“Ada juga yang ketika sudah cerita ke orangtuanya itu dianggap tidak umum, sehingga diajak ke ustadz, disuruh minum air dari uztadz dan malah mengarah ke hal mistik,” ujarnya.

Beberapa individu yang menyadari memiliki gangguan mental tetapi takut untuk meminta bantuan dari orangtua, memilih untuk mencari bantuan psikolog sendiri atau menjalani pengobatan tanpa didampingi.

“Sebagian dari narasumber datang ke psikolog secara diam-diam, bahkan ada juga yang menggunakan uang sendiri, padahal biaya ke psikolog itu tidak murah,” ungkap Krisna.

“Kemudian ada juga yang membuat presentasi tentang apa yang terjadi pada dirinya, kemudian dia menelisik sebenanya faktornya apa. Dia mencoba menggambarkan bahwa ini salah satunya adalah karena asuhan bapak ibunya yang kurang baik,” tutur Krisna.

Ada yang bahkan mencoba menyadarkan orangtuanya tentang kondisinya dengan berbagai cara, seperti membuat presentasi atau menelusuri akar masalahnya.

Setelah orangtua menyadari hal tersebut, dukungan dan pemahaman pun diberikan secara lebih intensif.

Tindakan tersebut membuktikan pentingnya dukungan keluarga dalam pengobatan gangguan kesehatan mental.

Kesadaran dan dukungan dari lingkungan sekitar sangat berperan dalam pemulihan individu yang mengalami masalah kesehatan mental.

“Sejak saat itu orangtuanya menjadi sadar dan mensupportnya, setiap dua minggu sekali dia ke rumah sakit jiwa diantar oleh orangtuanya,” ujar Krisna.