7 Temuan Mitos dan Realitas Riset Aksi Cegah Perkawinan Anak, Jadi Pesan Penting
RAKYAT NEWS, JENEPONTO – Tim Riset Aksi Cegah Perkawinan Anak Kabupaten Jeneponto akhirnya menemukan 7 Mitos dan Realitas hasil pelaksanaan risetnya, Mitos dan Realitas ini menjadi pesan moral yang ditujukan kepada semua pihak yang berkomitmen dan bertanggung jawab dalam upaya mencegah perkawinan anak di daerah ini.
Pesan-pesan ini mengurai mitos dan kesalahpahaman yang seringkali menjadi dasar bagi terjadinya perkawinan anak, serta mengungkap dampak buruk yang ditimbulkannya.
Berikut adalah 7 Mitos dan Realitas dari Tim Riset Aksi Cegah Perkawinan Anak :
1. Tradisi Yang Menjebak : “Di Jeneponto, ada yang menyebutnya ‘tradisi mempercepat masa depan’ – padahal mereka hanya menjebak anak-anak ke dalam rantai tanggung jawab yang bahkan orang dewasa pun belum siap pikul.”
2. Mengurangi Beban Keluarga yang Semu : “Keluarga berusaha ‘mengurangi beban ekonomi’ dengan menikahkan anaknya muda, tapi tidak menyadari bahwa mereka malah memproduksi generasi baru yang terkurung dalam kemiskinan tanpa pelarian.”
3. Hak yang Dicabut : “Beberapa pihak bilang ‘ini cara menjaga kehormatan’, padahal yang sebenarnya terjadi adalah mencabut hak anak untuk belajar, bermain, dan menemukan diri mereka sendiri sebelum terjebak dalam ikatan yang tidak mereka pilih.”
4. Berkah yang Berwujud Derita : “Mereka bilang ‘pernikahan muda adalah berkah’, tapi di baliknya banyak ibu muda yang kehilangan nyawa saat melahirkan dan bayi yang tak sampai melihat dunia dengan jelas – sebuah ‘berkah’ yang berubah jadi derita yang tak perlu ada.”
5. Sakralitas yang Terluka : “‘Ikatan suami istri yang sakral’ katanya, namun seringkali menjadi tempat bagi kekerasan yang tak terlihat, di mana anak yang baru saja menikah harus belajar menghadapi luka fisik dan hati dari pasangan yang juga belum siap menjadi pendamping hidup.”
6. Solusi yang Salah Arah : “Banyak yang menganggapnya ‘solusi permanen’ untuk masalah keluarga, tapi justru menghasilkan perceraian yang cepat – meninggalkan anak-anak muda yang belum bisa berdiri sendiri menjadi duda atau janda di usia yang seharusnya mereka habiskan untuk merencanakan masa depan.”
7. Menunda Pilihan Kehancuran : “Jangan bilang nanti, nanti, nanti – jika kita terus menunda langkah, nanti yang kita lihat bukan generasi penerus yang kuat di Jeneponto, melainkan deretan masa depan yang hancur berkeping-keping di hadapan mata kita sendiri”
Tim berharap pesan-pesan ini dapat menjadi dasar untuk memperkuat kolaborasi antar pihak, mulai dari pemerintah daerah, lembaga sosial, tokoh masyarakat, hingga keluarga, dalam menciptakan lingkungan yang melindungi hak-hak anak dan mencegah terjadinya perkawinan anak di Kabupaten Jeneponto. (*)


Tinggalkan Balasan Batalkan balasan